Asset tak berwujud menjadi salah satu pos yang diperhitungkan dalam penilaian sebuah perusahaan. Selain itu, ketidaktepatan dalam perlakuan akuntansi terhadap transaksi asset tak berwujud dapat mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan. Pada perusahaan startup, investasi pada asset tak berwujud teknologi informasi menjadi strategi perusahaan untuk menciptakan kegiatan operasional menjadi lebih efektif dan efisien. Dalam PSAK 19 menyatakan asset tak berwujud (intangible assets) adalah asset tidak lancar dan tidak berbentuk yang memberikan hak keekonomian dan hukum kepada pemiliknya dan dalam laporan keuangan tidak dicakup secara terpisah dalam klasifikasi asset yang lain. Asset tak berwujud memiliki karakteritik yaitu tingkat ketidakpastian nilai dan manfaat di kemudian hari. Asset tak berwujud dapat berupa hak paten, hak cipta, waralaba (franchise), merek dagang dan goodwill.
PSAK 19 menyatakan amortisasi yaitu alokasi sistematis jumlah tersusutkan asset tak berwujud selama umur manfaatnya. Untuk menetapkan besarnya biaya amortisasi yang dibebankan setiap periode dihitung dengan memperhatikan metode yang digunakan dalam amortisasi asset tak berwujud. Praktik akuntansi komersial menggunakan metode garis lurus.
Biaya Amortisasi = % tarif x Harga perolehan asset tak berwujud
Amortisasi menurut akuntansi pajak berdasarkan pada pasal 11 A UU PPh menyebutkan bahwa amortisasi dilakukan terhadap pengeluaran untuk memperoleh harta tidak berwujud dan pengeluaran lainnya, termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai dan muhibah (goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
Sebagaimana diatur dalam paragraf 97 PSAK 19 terlihat adanya klasifikasi asset tak berwujud berdasarkan periode amortisasi, yaitu :
Sedangkan metode yang digunakan dalam amortisasi asset tak berwujud dalam akuntansi pajak adalah metode garis lurus dan metode saldo menurun. Untuk tujuan pajak dalam menghitung amortisasi asset tak berwujud, terlebih dahulu asset tersebut dikelompokkan sesuai dengan masa manfaatnya.
Sesuai akuntansi perpajakan bahwa pada akhir masa manfaat, asset tak berwujud akan diamortisasi sekaligus. Khusus untuk amortisasi asset tak berwujud menggunakan metode saldo menurun. Terdapat beberapa ketentuan khusus dalam hal ini, yaitu sebagai berikut :
Menurut FASB Statement No.2 Tahun 1974, biaya penelitian dan pengembangan ini dibebankan sebagai biaya pada periode terjadinya atau dilakukan kapitalisasi dan dikelompokkan sebagai aset tak berwujud yang sangat bergantung pada berhasil atau tidaknya kegiatan penelitian dan pengembangan. Paragraf 51 PSAK 19 menyebutkan tentang penentuan apakah suatu aset tak berwujud yang dihasilkan secara internal memenuhi syarat untuk diakui, untuk itu perusahaan mengelompokkan proses dihasilkannya aset tak berwujud menjadi 2 tahapan yaitu Tahapan penelitian atau tahap riset dan Tahapan pengembangan.
Secara khusus akuntansi pajak tidak mengatur bagaimana melakukan pencatatan, biaya penelitian dan pengembangan, tentu saja mengikuti aturan akuntansi komersial. Akan tetapi, mengacu pada Pasal 6 ayat (1) huruf f UU PPh bahwa penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia dapat dibebankan sebagai biaya dalam rangka menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak (PhKP).
Jika perusahaan anda membutuhkan jasa konsultan pajak, KJA Ashadi dan rekan hadir untuk menjadi solusi dari permasalahan anda. Sebagai bagian dari perusahaan konsultasi BMG Consulting Group, KJA Ashadi dan Rekan telah didirikan di tahun 2015 dan telah mendapatkan izin dari Kementerian Keuangan KMK No. 84/KM.1/PPPK/2015. Di dalam menjalankan usahanya KJA Ashadi & Rekan memberikan pelayanan jasa konsultasi pada bidang akuntansi, perpajakan, manajemen dan training. Untuk konsultasi lebih lanjut anda dapat menguhubungi kami melalui whatsapp.